Latar Belakang Sejarah :
Payung tradisional Juwiring diperkirakan telah ada sejak tahun 1800-an. Berdasarkan penuturan dari tokoh masyarakat setempat, keahlian membuat payung tradisional ini dimulai ada ketika ada bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta yang memesan payung kebesaran kerajaan kepada salah satu warga Juwiring. Pada masa penjajahan Belanda di Ngreni, Juwiring sudah berdiri sebuah pabrik payung yang dikelola oleh utusan dari Keraton Surakarta, kemudian pabrik tersebut berpindah lokasi di Kenaiban. Setelah kemerdekaan Indonesia, pabrik tersebut berganti nama menjadi perusahaan negara perindustrian rakyat Kriyayasa di bawah Menteri Penerangan dan Menteri Perindustrian dan berpusat di Jakarta. Antara tahun 1966-1967, perusahaan negara perindustrian rakyat Kriyayasa berganti nama menjadi Aneka Yasa dan pusatnya dipindah ke Jawa Tengah.
Pabrik Aneka Yasa membuat kerajinan payung Juwiring mencapai puncak kejayaan dan menjadi jembatan bagi para perajin dalam pemasaran produk dengan cara menitipkan payungnya di pabrik tersebut. Dengan alasan kalah bersaing dengan produk import membuat pabrik Aneka Yasa tidak dapat bertahan dan tutup pada tahun 1974. Sebagai upaya untuk melestarikan kembali kerajinan payung Juwiring, pada tahun 1975 Achmad Sumarlan bersama rekan-rekannya mendirikan kelompok perajin Payung Wisnu. Keberadaan industri Payung Wisnu juga mempelopori dibukanya beberapa industri-industri payung tradisional di Juwiring. Masyarakat Juwiring yang melihat kesuskesan Payung Wisnu mulai mengikuti membangun usaha kecil-kecilan.
Deskripsi :
Pada awal kemunculannya, bentuk kerajinan payung tradisional Juwiring masih sederhana. Payung produksi masyarakat di Juwiring kala itu sebagian besar atapnya masih polos dan warna payung cenderung gelap. Bahan baku yang digunakan untuk membuat atap payung yaitu kertas kraft. Untuk menempelkan kertas tersebut menggunakan lem yang berasal dari buah Kleco. Kemudian untuk proses pewarnaan payung saat itu menggunakan campuran air kelapa dan potongan wajan, yang nantinya menghasilkan warna hitam.
Payung tradisional Juwiring yang awalnya polos dan gelap berkembang menjadi payung lukis dengan motif dan warna yang menarik. Motif utama kebanyakan berkaitan dengan alam, seperti motif hewan dan bunga-bunga. Motif bunga yang sering dilukis yaitu bunga teratai dan bunga krisan, sedangkan motif hewan biasanya berupa angsa, burung merak, dan kupu-kupu. Selain motif bunga dan hewan, ada juga motif batik dan lurik.
Selain motif payung, warna payung mengalami perubahan yang semula gelap menjadi berwarna-warni. Dalam kebudayaan Barat dan Timur, warna memiliki makna simbolis, seperti kedudukan sosial dan keadaan atau perasaan seseorang. Selain itu, bagi beberapa kalangan warna juga dianggap memiliki kekuatan magis dan sakral. Beberapa warna yang sering digunakan dalam pewarnaan payung yaitu warna merah, putih, kuning, biru, hitam, dan emas.
Produk payung tradisional Juwiring ada dua tipe yaitu tipe halus dan tipe kasar. Tipe kasar terdiri dari payung jenazah atau payung ritual pemakaman, dan payung untuk melindungi diri dari hujan dan panas. Tipe payung halus berupa payung hias yang digunakan untuk dekorasi pernikahan, hiasan hotel, dan lain lain.
Jenis payung yang dibuat oleh perajin di Juwiring ada tiga jenis yaitu payung upacara adat, payung untuk perlengkapan keseharian dan payung aksesoris. Payung upacara adat meliputi payung temu, payung khitanan, payung siraman, payung manten, payung minyak dan payung tari. Payung untuk perlengkapan keseharian meliputi payung hujan panas. Payung aksesoris meliputi payung yang dipergunakan untuk pajangan.
Makna dan Nilai :
Payung mempunyai fungsi sebagai pelindung diri dari air hujan dan panasnya matahari. Fungsi payung kemudian mengalami pergeseran, dari semula masih sebatas untuk melindungi diri dari air hujan dan panasnya matahari kemudian berkembang menjadi fungsi simbolis. Pada masa kerajaan, payung berfungsi sebagai simbol kebesaran raja dan tidak boleh dipakai oleh sembarang orang. Berikutnya pada masa kolonial fungsi payung adalah sebagai simbol status sosial pemiliknya dan menjadi aksesori bagi para pejabat kolonial untuk mendukung gaya berpakaiannya. Setelah kemerdekaan terjadi kesetaraan antara kaum bangsawan dan rakyat biasa sehingga payung boleh digunakan oleh seluruh kalangan rakyat.
Perkembangan pola hias dan warna membuat payung tradisional Juwiring bertransformasi. Payung tradisional ini pada mulanya digunakan sebagai hiasan untuk acara adat dan hari-hari penting tertentu, kemudian berkembang sebagai hiasan atau dekorasi di tempat-tempat umum sehingga corak dan warnanya menjadi lebih beragam.
Tahap Produksi :
Proses pembuatan payung pada dasarnya dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap finishing. Masing-masing tahap dikerjakan oleh perajin yang berbeda. Tahap persiapan meliputi mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, pembuatan kerangka (pemasangan bungkul, sodo, sanggan, mayu dan milipit, serta nyulam). Tahap finishing meliputi proses melukis, pemasangan tangkai dan menuran.
Langkah dalam pembuatan payung sebagai berikut:
1. Mempersiapkan bahan yang digunakan dalam pembuatan payung hias. Memasang bungkul, sodo, sanggan sehingga membentuk kerangka payung. Pemasangan dengan menggunakan penyambung benang lawe atau benang nilon
2. Setelah kerangka terpasang kemudian bagian bawah disulam menggunakan benang wool. Penyulaman dilakukan menyilang antara sanggan, sodo dan bungkul. Warna benang yang digunakan antara lain merah, biru, hijau, putih dan kuning.
3. Tahap selanjutnya adalah mayu, yaitu tahap menempelkan kain pada kerangka payung. Kain terlebih dahulu dipotong melingkar sesuai dengan diameter payung ditambah sedikit untuk merapikan kain. Kain ditempelkan menggunakan lem PVC, setelah itu payung dijemur pada terik matahari untuk pengeringan.
4. Setelah mayu tahap selanjutnya adalah mlipit yaitu melipat sisa bagian ujung kain kedalam agar terlihat lebih rapi.
5. Tahap selanjutnya adalah gombyoki yaitu memasang asesoris pada ujung payung. Asesoris dipasang disekeliling ujung payung. Pemasangan dilakukan dengan cara di sulam menggunakan benang atau kain
6. Perakitan ada dua jenis yaitu perakitan engkel dan perakitan susun. Perakitan payung engkel pemasangan dilakukan langsung dengan pemasangan menur dan tiang payung.
7. Tahap akhir adalah finishing dengan cara mengecat atau memberi plitur pada tangkai. yang diharapkan untuk mempercantik tampilan payung. Setelah selesai payung di jemur agar payung tidak lembab
Jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan payung tradisional adalah kayu mlinjo, kayu mahoni, kayu kenanga dan bambu, alasan menggunakan bahan itu karena bahan mudah didapat, harga terjangkau dan mudah dibentuk. Bambu yang digunakan adalah bambu wulung yang sudah berumur. Bahan kayu terutama bambu sangat rentan terhadap serangga pengerat sehingga untuk mengantisipasi serangan serangga dioles dengan obat anti serangga.
Hasil Produksi :
Beberapa jenis payung yang dihasilkan oleh perajin payung tradisional Juwiring, antara lain :
1. Payung susun satu (engkel)
Payung susun satu (engkel) biasanya digunakan untuk upacara adat manten, khitanan dan payung temu. Payung yang digunakan untuk khitanan berdiameter lebih kecil yaitu 80 cm. Payung siraman diameter payung antara 1,5 m - 2 m. Payung temu berfungsi untuk mayungi manten pada saat manten akan dipertemukan atau digunakan untuk memayungi abdi Keraton. Payung temu mempunyai diameter payung 70 cm - 80 cm dan tinggi tiang 2 m.
2. Payung susun 2 sampai 5
Payung susun 2 sampai 5 digunakan untuk hiasan kanan kiri pada acara tertentu seperti mantenan.
3. Payung susun 5, susun 7, dan susun 9 DEKR
Payung susun 5, susun 7, dan susun 9 digunakan untuk payung simbol. Payung ini digunakan di Keraton pada saat upacara tertentu. Pembuatan payung susun ini hanya berdasarkan pesanan.
4. Payung minyak
Penggunaan payung minyak biasanya untuk payung jenazah. Payung jenazah mempunyai ciri-ciri ujung rangka lurus, bahan payung terbuat dari kertas semen, tiang payung mempunyai tinggi 2m dan warna payung disesuaikan dengan agama yang dianut.
5. Payung Tari
Payung tari adalah payung yang digunakan untuk perlengkapan menari. Payung tari bentuknya berdasarkan usia yang memakai dan warna bebas. Dalam pembuatan ukuran payung berbeda-beda, untuk TK diameter payung 45 cm – 50 cm, SD diameter payung 60 cm – 70 cm, SMP diameter payung 70 cm – 80 cm dan dewasa diameter payung 80 cm – 1 m.
Selain untuk upacara tradisional di atas, ada juga variasi jenis payung yang diproduksi oleh perajin di Juwiring, yaitu payung perlengkapan keseharian berupa payung hujan panas dan payung aksesoris yang dipergunakan untuk pajangan.