MENDHAK SANGGRING MAKNA adalah rangkaian ritual yang secara umum sama dengan Bersih Desa namun yang menarik antara lain berupa Sanggring. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun lamanya di desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, JawaTimur. Puncak acara berupa memasak Sanggring dan makan bersama oleh warga desa serta berdoa di makam Ki Buyut Terik, yang dipercaya sebagai pendiri desa. Pelaksanaan memasak sanggring itulah yang unik, karena seluruh petugas yang menerima sumbangan ayam, menyembelih, memasak hingga menjadi masakan sayur Sanggring hanya boleh dilakukan oleh para laki-laki yang harus keturunan Juru Sanggring. Sedangkan pimpinan Juru Sanggring harus melakukan puasa sehari semalam sebelum ritual ini. Sangggring dimasak di tiga wajan besar di tempat terbuka. Sayur Sanggring dipercaya memiliki khasiat menolak penyakit atau sebagai obat. Sebagaimana asal kata Sanggring yakni ‘sangkaningwonggering’ atau obatnya orang sakit. Tradisi Nyanggring di Tlemang ini berlangsung selama 4 (empat) hari berturut-turut berpedoman pada penanggalan Jawa itu setiap tanggal 24 hingga 27 Jumadil Awal. Dalam upacara adat ini ada ritual Bersih Sumber (mata air) dan Bersih Makam serta pergelaran kesenian langka yaitu wayang krucil selama dua hari berturut-turut.
Dusun Tlemang adalah dusun di perbukitan kapur berhutan jati dengan jarak ke kota kecamatan sejauh 6 kilometer dan 36 kilometer di arah barat daya pusat kota Lamongan. Jumlah total penduduk dari tiga dukuh, yaitu Tlemang, Waduk dan Bakon adalah sebanyak 1.365 (monografi Desember 2019). Sebuah anugerah tersendiri desa ini memiliki banyak mata air yang melimpah. Karena itu warga desa melakukan perawatan (konservasi) mata air secara rutin sebagai bagian dalam tradisi ini.
Upacara adat Mendhak Sanggring dimulai dengan membersihkan dua buah sendhang (mata air) yaitu sendhang wedok dan sendhang lanang oleh warga masyarakat setempat. Sebelumnya diawali oleh Kepala Desa (Kades) dan sesepuh desa dengan sebuah ritual dengan cara menaburkan air kelapa muda yang dicampur dengan badheg (air tape) dan beberapa ramuan. Setelah itu dilakukan selamatan dengan doa yang dipimpin oleh Modin, dengan hidangan yang dibawa masing-masing warga. Pada hari berikutnya pelaksanan ritual di makam punden desa, yaitu Ki Buyut Terik. Warga setempat membersihkan area sekitar makam, sementara di bagian makam dilakukan penggantian kain pembungkus, mengganti atap daun alang-alang, melapisi kain merah putih dengan yang baru.
Buyut Terik yang bernama asli Raden Nurlali, konon merupakan keluarga Raja Mataram yang sekitar tahun 1677 meninggalkan Kerajaan Mataram karena merasa kecewa dengan kolonial Belanda. Raden Nurlali pergi kearah timur, mengabdi dan berguru pada Sunan Giri di Gresik. Kemudian oleh Sunan Giri diberi tugas menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan. Karena berhasil menyebarkan agama Islam dan menumpas penjahat, Raden Nurlali diangkat menjadi pemimpin masyarakat Desa Tlemang. Pengangkatannya, secara formal diadakan upacara wisuda pada bulan Jumadil awal tanggal 27 yang dihadiri oleh Sunan Giri dan para tamu sahabat-sahabat Raden Nurlali. Setelah area makam bersih, pada sore harinya diselenggarakan pengajian berupa istighosah kaum muslimat. Acara tambahan ini menurut tradisi tidak ada, baru diadakan sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Hari ketiga dilaksanakan pergelaran wayang krucil dimulai sejak pagi di halaman ru-mah Kepala Desa, dengan lakon “Damarwulan.” Sementara itu dua ekor kambing dis-embelih untuk acara “Selamatan Kambing” dengan menu khusus yang dipersembahkan untuk Ki Buyut Terik dengan cara dikunci dalam kamar. Kemudian sejumlah warga dipimpin oleh Kepala Desa mengunjungi makam Ki Buyut Terik, memanjatkan doa sebagai pertanda acara mendhakakan dimulai. Usai dari makam, warga lantas menik-mati hidangan khusus dengan menu daging kambing.
Pagi hari, dihari berikutnya adalah puncak acara Mendhak Sanggring. Digelar lagi pertunjukan wayang krucil dengan lakon yang berbeda (Sriaji Jayabaya) dimana seluruh pendukung dan dalang berbusana adat, tidak sebagaimana pentas sebelumnya yang hanya mengenakan busana sehari-hari. Dalam ritual ini memang harus menggelar wayang krucil, bukan wayang kulit, atau pertunjukan kesenian lainnya. Sejak pagi hari masing-masing warga desa menyumbangkan seekor ayam dan se-bungkus bumbu jangkep serta menyerahkan sekadar sumbangan untuk pelaksanaan acara. Menjelang tengah hari warga desa berduyun-duyun ke lokasi masak sanggring, dengan membawa wadah berbagai rupa untuk Sayur Sanggring yang akan dibagikan. Sayur sanggring disiapkan panitia sebagai suguhan untuk Ki Buyut Terik yang disim-pan dalam sebuah kamar tertutup. Semua warga konsentrasi menunggu pembagian Sayur Sanggring. Setelah sambutan Kepala Desa dan doa yang disampaikan oleh Modin maka Juru Sanggring satu persatu mengisi wadah yang disodorkan warga. Di-akhir acara dilakukan prosesi menuju makam Ki Buyut Terik, membawa makanan da-lam wadah (ambeng) untuk didoakan. Pengunjung beriringan mengikuti di belakang hingga membentuk barisan yang sangat panjang. Sementara Modin memimpin pem-bacaan Surat Yasin, barisan warga tadi antri menyerahkan sebungkus bunga tabur dan uang nadar kepada petugas yang di dekat makam Ki Buyut Terik. Acara Tutup Gedhek yang merupakan ungkapan syukur karena upacara telah berlangsung dengan lancar. Sementara ditengah kerumunan ada warga yang melemparkan sejumlah uang logam untuk diperebutkan. Namanya udhik, bagian dari ritual ini. Acara berakhir, warga berangsur-angsur meninggalkan lokasi.