Sejarah Tari Pa’gellu
Tarian ini telah ditarikan sejak sebelum Belanda masuk ke Toraja, meskipun tidak diketahui secara kapan tepatnya tarian ini mulai ditarikan. Kebudayaan Toraja sangat erat kaitannya dengan kepercayaan leluhur yaitu Aluk Todolo. Aluk todolo adalah bentuk kepercayaan adat pada masyarakat Toraja yang telah dianut sebelum masuknya agama Kristen di Toraja. Kepercayaan ini mengacu pada 3 sembahan yaitu:
1. Puang Matua sebagai sang pencipta segala jagat raya.
2. Deata-deata yang jumlahnya banyak sebagai pemelihara segala ciptaan Puang Matua.
3. Tomembali puang (leluhur), yaitu para leluhur yang sudah sempurna ritualnya dan menjadi Dewa sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada manusia keturunannya. Ketiga sembahan dipuja dalam bentuk lahir dan batin manusia. Pujaan lahir dibuktikan dengan memberi sesajen dan sesembahan berupa hewan babi dan ayam. Pemujaan tersebut merupakan simbolisasi dari rasa syukur atas nikmat yang telah diterima, terhindar dari penyakit dan marabahaya, atau terkabulnya doa dan pengharapan manusia. Kegiatan ini dinamakan upacara syukuran rambu tuka. Dalam upacara rambu tuka selalu dimeriahkan pula dengan pementasan tari pa’gellu’ sebagai ungkapan suka cita, kegembiraan, dan estetikayang diwujudkan dalam bentuk gerakan-gerakan badan dan ayunan tangan yang lemah gemulai. Tarian ini dulunya dibawakan oleh putri-putri bangsawan dan hanya ditampilkan dalam upacara-upacara yang diadakan oleh kalangan bangsawan saja. Setelah masuknya Belanda di Toraja, yaitu pada awal abad 19, tari pa’gellu’ mulai dipentaskan secara umum. Pada masa itu, tari pa’gellu’ ditampilkan sebagai bagian dari penyambutan para pahlawan yang telah membawa kemenangan bagi masyarakat Toraja. Tari pa’gellu’ atau terkenal dengan sebutan Pa’gellu’ Pangala ini pertama kali diciptakan oleh Nek Datu Bua’. Tarian ini diciptakan pertama kali saat kembali dari medan peperangan dengan membawa kemenangan lalu merayakan kemenangan tersebut dengan menari-nari sebagai bentuk rasa sukacita atas kemenangan mereka. Bentuk gerakan tari ini awalnya tidak beraturan namun semakin lama mengikuti perkembangan zaman akhirnya tarian ini disusun kedalam 12 gerakan agar terlihat lebih indah. Sayangnya tidak ada yang tahu pasti tahun berapa tarian ini diciptakan. Nek Datu Bua’ merupakan pioner (perintis) dari pa’gellu’ pangala, beliau memiliki keturunan laki-laki yaitu Nek Tumbak yang sangat menguasai pa’gellu’ pangala ini. Adapun penari pa’gellu’ pangala sebelum kemerdekaan yaitu Nek Lekke, Nek Sampe Allo, Nek Tangke Langi’. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Larasati dipaparkan bahwa pada zaman dulu perang lokal sering terjadi antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Tarian ini tercipta pertama kali pada waktu kemenangan atas peranglokal antar daerah, lalu penduduk dan para prajurit perang menari-nari secara alamiah sebagai bentuk kegembiraan atas keberhasilan mereka memenangkan peperangan dan mempertahankan daerah mereka. Pada waktu itu belum ada alat musik gendang jadi mereka menggunakan lesung sebagai pengiring dari tarian tersebut dan tidak ada batasan bagi mereka baik perempuan ataupun laki-laki boleh menarikan tarian ini, (Larasati, 2014). Zaman setelah kemerdekaan, alat musik gendang mulai dikenal dan dimainkan oleh 4 orang pemain musik dengan bagian-bagiannya tersendiri yaitu ma’pamisa’ mangindoi, ma’parepe’ dan ma’pasalai/ ma’kode. Gerakan dari tarian ini juga dibagi menjadi 12 ragam yaitu gellu’ siman dipabunga’, pa’gellu’ tua, ma’dena’dena’, pa’langkan- langkan, pa’kakabale, panggirik tangtarru’, pa’unnorong, pa’tulekken, pangra’pak pentallun, passiri, pangrampanan dan pa’passakke. Namun karena ada beberapa gerakan yang hampir mirip akhirnya diberi variasi gerakan agar tarian ini tidak menjadi monoton dan lebih menarik (Larasari, 2014). Terkait dengan perkembangan tari tradisional paggellu yang mulai pesat, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, apakah perkembangan tersebut mengakibatkan terjadinya pegeseran makna dan fungsi dari tari tradisional; kedua, apakah pertunjukan tarian tradisional yang masih asli masih dapat dijumpai hingga saat ini; dan ketiga, bagaimana pemahaman masyarakat mengenai keberadaan tari tradisional dan tari kreasi tradisional, apakah masyarakat pemilik kebudayaan mengetahui dan mengerti perbedaan di antara keduanya, atau tidak memperdulikan persoalan itu.