Masyarakat Sumba tidak mengenal tradisi tulis di masa lalu. Di wilayah ini yang berkembang adalah sejarah lisan seperti cerita rakyat atau foklor. Mereka percaya nenek moyang mereka adalah pendatang yang memasuki Sumba secara bergelombang yakni melalui tanjung Sasar, Muara Sunga Pandawai, muara sungai wulla, pantai selatan pulau Sumba dan kemudian menyebar ke seluruh Sumba.
Negeri asal etnik Sumba diungkapkan dalam Lii (sabda) Marapu/leluhur ( Lii Marapu) mitos, legenda dan sastra religi. Dalam sastra lisan yang diwariskan turun-temurun, diungkapkan beberapa nama tempat. Tempat-tempat tersebut diucapkan dalam sastra doa kepercayaan Marapu yang menunjukkan tempat bersejarah dimasa lampau, tempat asal-usul para leluhur dari berbagai marga yang pertama kali mendarat dipulau Sumba. Tempat-tempat yang terucap dalam sastra doa Kepercayaan Marapu meliputi wilayah Asia Timur dan pulau-pulau diwilayah Nusantara.
Salah satunya adalah Pulau Jawa, yang mereka namai La Tana Jawa Bokulu-La Tana Bungguru (pulau Jawa yang luas dan besar berdasarkan pemahaman terhadap pesisir pulau-pulau yang mereka pernah lalui. Ungkapan Tana Bungguru diartikan sebagai gambaran budaya masyarakat yang telah maju, selalu berkumpul (kabungguru) untuk bermusyawarah.
Antara pertengahan abad ke XIV sampai akhir abad ke XV, yaitu semasa kerajaan Majapahit mengembangkan kekuasaannya di seluruh kawasan Nusantara, datanglah kelompok Suku Jawa ke Sumba. Setibanya di Sumba, mereka juga melakukan asimilasi lewat hubungan perkawinan. Dan seperti halnya kaum imigran terdahulu, kelompok Suku Jawa itu juga terserap budaya Sumba.
Berbeda dengan kaum imigran terdahulu yang memilih daerah pantai utara, kelompok Suku Jawa memilih daerah pantai selatan Sumba sebagai tempat pendaratan. Sebagian mendarat dan menetap di pantai Mondulambi Lewa Tidahu dan sekarang masih terdapat tempat yang dinamai Parai Jawa – Negeri Jawa. Sebagian lagi mendarat di pantai selatan Tabundung dan memperkenalkan diri sebagai orang Majapahit – Tau Manja Palit. Mereka sangat dihormati oleh masyarakat setempat karena para Raja Sumba termasuk Raja Tabundung mengakui kekuasaan Kerajaan Majapahit atas Pulau Sumba.
Bahwa Sumba merupakan salah satu pulau yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, dinyatakan dalam buku Negarakertagama pupuh 14, bait 5 yang berbunyi :
Ikan saka sanusanusa makhasar butun/bangawi, kunir agaliyau mwan i
Salaya sumba solot/muar, muwah tikhan I wadan ambwan athawa maloko wanin, ri seran I timur makadinin aneka nusatutur
Namun Sumba tidak pernah diperintah secara langsung oleh para Raja Majapahit dan tidak pernah diperlakukan sebagai sebuah daerah jajahan yang sesungguhnya, karena para Raja Sumba dibiarkan memerintah wilayahnya masing-masing.
Sebenarnya pengaruh kekuasaan Majapahit atas Sumba lebih terasa dalam segi hubungan kebudayaan. Pada abad ke XV, pengaruh kekuasaan Majapahit dilanjutkan oleh para raja Bima yang konon berasal dari clan Majapahit. Dalam tradisi Sumba, pengakuan atas kekuasaan Majapahit dan Bima masih dinyatakan sampai sekarang dengan kalimat penghormatan : Hanggula Ratu Jawa-Hanganji Ratu Ndima (Sang Kulah Raja Jawa – Sang Aji Raja Bima). Kalimat ini senantiasa diucapkan dalam meriwayatkan silsilah para raja Sumba. Konon, Majapahit secara tradisional memberikan kain Sutera Dewangga dan Petola kepada raja – raja yang memerintah di wilayah Sumba.
Dari latar belakang sejarah tersebut, maka sesungguhnya terdapat benang merah yang mempertemukan peradaban Sumba Timur dan daerah lainnya di Indonesia, seperti pengetahuan tentang menenun. Para ahli antropologi menyatakan bahwa kegiatan menenun sudah ada sejak tahun 5000 SM, terutama di daerah Mesopotamia, Mesir, India dan Turki. Keberadaan kain tenun tradisional Indonesia diperkirakan berkembang sejak masa Neolitikum (prasejarah). Ini dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda prasejarah prehistoris seperti tenunan dan alat memintal pada situs Melolo Sumba Timur, gunung Wingko Yogyakarta dan Gilimanuk.
Pengetahuan Tradisional yang terdapat dalam ragam tenun ikat pada berbagai daerah di Indonesia, berkaitan erat dengan sistem pengetahuan, budaya, kepercayaan, lingkungan alam dan sistem organisasi sosial dalam masyarakat. Karena keragaman kultur sosial dalam masyarakat, tidaklah mengherankan apabila tenunan pada masing – masing daerah memiliki perbedaan dan ciri khas tersendiri.
Tenunan Sumba Timur dengan corak motif yang beragam merupakan hasil penuangan ide, gagasan, mitologi, kepercayaan bahkan filosofi yang berkaitan erat dengan keyakinan masyarakat lokal yakni Marapu. Tenunan Sumba Timur terbagi 2 berdasarkan teknik pembuatan motif / coraknya, yaitu Tenun Ikat (teknik ikat ) dan tenun Pahikung (Teknik Sungkit/Songket).
Tenun Ikat Sumba Timur terdiri atas 2 jenis yakni Hinggi (Kain untuk Pria) dan Lawu (sarung untuk wanita). Ketrampilan menenun diperoleh melalui proses yang panjang dalam lingkungan keluarga yang diwariskan turun temurun dan membutuhkan ketekunan dan kesungguhan.
Untuk menghasilkan sehelai kain bermutu, para penenun harus memiliki daya imajinasi dan intuisi yang kuat sebab seluruh pola dan disain kain hanya direkam dalam ingatan. Hal penting lainnya adalah memahami makna filosofi yang terkandung dalam gambar/corak tersebut. Dari sisi religius, kepandaian memproses dan menenun adalah pemberian Marapu, sehingga aktivitas mengatur benang lungsin, mengikat corak, mewarnai dan menenun selalu diawali dengan sembahyang kepada Marapu untuk memohon pengetahuan, ketrampilan dan akal budi (Kaminaku Manggana), dan meminta izin serta restu agar menghasilkan tenunan terbaik.
Kegiatan menenun tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan busana, tetapi hal yang lebih mendasar adalah untuk memenuhi kebutuhan sistem nilai dalam budaya yaitu kepentingan adat yang berkaitan dengan perkawinan, kematian. peristiwa religi, dan sosial budaya lainnya.
Adapun Motif utama dalam tenun ikat maupun tenun pahikung berkaitan erat dengan Makhluk hidup lainnya seperti Kuda (Njara), Ayam (Manu), Kakatua (Kaka), Manusia (Tau), Tugu Tengkorak Manusia (Andungu Katiku Tau), Ular (Ularu/Mandu), Rusa (Ruha), Udang (Kurangu), Buaya (Wuya) dan Kura-Kura (Karawulangu), Burung Kecil Pesisir (Kahuhu), Cicak terbang (Habaku atau Kambulai Hawurung)
Masing-masing motif mempunyai nilai perlambangan religius yakni :
• Kuda (Njara)
Kuda adalah ternak serba guna, berfungsi sebagai sarana angkutan, dipakai dalam peperangan, penentu status sosial bahkan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dalam budaya, kuda merupakan simbol yang penting dalam adat perkawinan dan simbol kendaraan untuk orang mati dalam adat kematian.
Kuda melambangkan Kejantanan, Keberanian, Ketangkasan, Kepahlawanan.
• Ayam (Manu)
Ayam jantan dipelihara secara khusus untuk dipergunakan sebagai hewan kurban dalam pelaksanaan ritual kepercayaan Marapu.
Simbol Ayam melambangkan “Kesadaran” artinya ayam selalu berkokok menjelang matahari terbit dan membangunkan manusia di pagi hari. Selain itu juga sebagai simbol “Kejantanan”, “tanda kehidupan”, dan “pemimpin yang bersifat melindungi”
• Kakatua (Kaka)
Simbol Kakatua melambangkan “Persatuan dan Kesatuan”, mencerminkan jiwa orang Sumba dalam pengambilan keputusan berbagai urusan, melalui jalan Musyawarah untuk Mufakat.
Ungkapan lain dalam bahasa Sumba seperti “ambu kaka ngandi undi, ambu manginu ngandi rota” artinya jangan menjadi kakatua pembawa jelatang, jangan menjadi burung pipit pembawa penyebab gatal. Ungkapan ini mengandung nasihat dan peringatan bagi setiap orang agar selalu waspada terhadap orang-orang yang membawa dan menyebarkan hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan kerusuhan dalam kehidupan masyarakat.
• Manusia (Tau)
Motif ini dianggap berfungsi sebagai penolak kejahatan dan mengandung makna kesaktian.
Tiap manusia membutuhkan pengakuan, perhatian, penghargaan dan pengasihan dari sesamanya.
Jika Motif berupa manusia telanjang, melambangkan Kepolosan, Kesendirian, Ketakutan dan Kemiskinan.
Tugu Tengkorak Manusia (Andungu Katiku Tau)
Motif ini merupakan simbol Keberanian, Kepahlawanan dan Kemenangan.
Hubungan dengan Budaya luar yang terjalin dinamis, mengakibatkan akulturasi budaya sehingga muncul corak/motif serapan akibat pengaruh budaya luar. Motif/corak tersebut adalah :
• Patuala ratu
Kain Patuala merupakan serapan dari motif/corak kain sutera dewangga dari India yang dianugerahkan oleh Maharaja Jawa kepada Raja-Raja di wilayah Sumba. Dalam perkembangannya, kain Patuala menjadi simbol kepemimpinan kaum bangsawan dan menunjukkan status sosial kaum bangsawan (Hundarangga Ruu Patuala). Kain Patuala Ratu terdiri dari beberapa corak yakni Patuala Ratu Bunga dan Patuala Ratu Gajah.
Motif/Corak ini berbentuk geometris sambung menyambung, kait mengait, simetris, serasi dan indah sebagai perlambang hubungan antar sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan menuntun masyarakat adat untuk hidup seturut tatanan nilai dan keyakinan yang dianut. Secara khusus kain ini hanya boleh dipakai oleh para Imam yang bertugas pada upacara kematian kaum bangsawan dan raja.
• Motif Ular naga
Motif ini merupakan serapan dari budaya China/Tiongkok yang terdapat pada benda – benda keramik buatan China yang masuk melalui jalur perdagangan pada abad ke XVI.
• Motif Singa (Mahang)
Ungkapan tentang singa tidak terdapat dalam bahasa sastra Sumba. Motif ini ditiru dari gambar singa yang terdapat pada uang Belanda.
• Motif Gajah
Gambar gajah dijadikan corak dalam kain Sumba, menunjukkan bukti bahwa pada masa silam terdapat interaksi dagang dengan dunia luar yang membawa gading dan kain sutera dewangga motif gajah ke sumba.
• Motif Liakat(Panongu Hei Panongu Puru atau Tangga Naik Tangga Turun)
Awalnya motif ini tidak dikenal pada daerah – daerah penghasil tenun ikat. Corak ini diambil dari kain tenun ikat bahan kapas pilin sebagai Kamba Ngandi (Kain yang dibawa) oleh Rambu May Nggedi alias Rambu Nai Ngguna dari marga Makiri Desa Mbatakapidu sebagai simbol mbola ngandi saat keluar dari rumah orang tuanya menuju rumah mempelai pria di Jangga Mangu pada tahun 1824. Di Mbatakapidu, kain Liakat biasanya digunakanuntuk renja pai (tarian keliling) saat ritual perjamuan malam. Dalam perkembangannya, corak ini menjadi simbol lokal atau trade mark Rambu Dai Ataluda di Jangga Mangu dan dimaknai sebagai simbol tangga naik (Panongu hei) dan tangga turun (panongu puru) dalam pemahaman marapu.
• Corak Mahkota, Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik
Corak ini diambil dari sapu tangan yang dihadiahkan oleh Sekretaris Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda kepada Oemboe Toengoe Etoe – kemenakan raja pada swapraja Mangili tahun 1903. Selanjutnya corak ini dimaknai sebagai simbol kepemimpinan, kebangsawanan dan status sosial.
Selanjutnya terdapat motif/corak baru sebagai hasil perkembangan budaya yang bersifat dinamis sebagai hasil adaptasi dengan nilai, norma, pengetahuan atau kepercayaan baru yang mempengaruhi pandangan hidup dalam masyarakat.