Saat pementasan Wayang Kulit Betawi bisanya diiringi dengan gamelan sunda
yang menggunakan bahasa Betawi. Musik yang mengiringi Wayang Kulit Betawi
disebut gamelan ajeng. Alat musik gamelan ajeng terdiri dari terompet, dua buah
saron, gedemung, kromong, kecrek, gendang, kempul, dan gong. Dahulu tahun 1920,
Wayang Kulit Betawi diiringi gamelan bambu.
Sejarah Wayang Kulit Betawi bermula ketika Pasukan Sultan Agung
Hanyokrokusumo dari Mataram menyerang Belanda ke Betawi, yang mana sebuah
rumah di Jakarta menjadi pos peristirahatan tentara Mataram, dan di pos itulah
seorang tentara Mataram setiap malam bercerita tentang tokoh-tokoh dan peristiwa
pewayangan. Kehadiran Wayang Kulit Betawi ini merupakan hasil interaksi dengan
budaya para pendatang yang berasal dari Jawa. Oleh karena itu, antara Wayang Kulit
Betawi dengan Wayang Kulit Jawa banyak terdapat kesamaan.
Wayang kulit Betawi memiliki fungsi ritual (kepercayaan) karena biasa digunakan
untuk membayar nazar dan ruwat. Ruwat adalah upacara menolak bala bagi keluarga
yang mempunyai susunan anak yang istimewa. Misalnya, anak tunggal, satu anak lelaki
diapit anak perempuan, satu anak perempuan diapit dua anak lelaki, dan sebagainya.
Dalang harus memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, mencukupi syarat melakukan “ruwatan”, dengan pertunjukkan khusus, membawakan lakon Nurwakala, yang menurut istilah
setempat disebut lakon “Betara Kala”, disertai sesajen lengkap.