Lintang: -7.5664483
Bujur: 110.7943833
Monumen Sondakan ini dibangun untuk mengenang peristiwa 7 sampai 10 Agustus 1949 masa Agresi Militer II Belanda, yang kini dikenal dengan nama Serangan Umum Empat Hari di Surakarta (Solo). “Serangan Umum yang terjadi di Kota Solo ini merupakan pertempuran pascakemerdekaan terakhir yang ada di Indonesia. Setelah itu diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag,kata Kepala Staf Kodim 0735/Surakarta, Mayor Inf. Didin Nasrudin, pada upacara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72 di Stadion Sriwedari Solo. Peristiwa Serangan Umum ini dilakukan oleh Tentara Pelajar (TP) bersama pasukan TNI yang dipimpin oleh Dwi Tunggal, Letnan Kolonel Slamet Riyadi (Komandan Brigade V/Pasukan Panembahan Senopati Divisi II) dan Mayor Achmadi (Komandan Sub Wehrkreise 106/PPS/Arjuno). Pada hari Minggu, 7 Agustus 1949 TP dan TNI mulai melakukan serangan yang dimulai dari Tugu Lilin Penumping terus menuju ke arah barat hingga Sondakan dengan sasaran pertahanan Belanda di sepanjang Jalan Purwosari atau sekarang dikenal dengan Jalan Slamet Riyadi. Tembak-tembakan mulai terjadi, makin lama makin gencar yang kemudian disusul dengan rentetan letusan brengun, stenggung, mitlariur serta dentuman mortir dan lain-lainnya. Serangan yang mendadak sontak membuat Belanda mengundurkan diri dan bertahan di markasnya masing-masing. Menghadapi serangan yang dilancarkan oleh pasukan Indonesia, pihak Belanda mengerahkan seluruh kekuatan udaranya. Sekitar pukul 15.00 WIB Belanda meluncurkan serangan balasan dengan menurunkan enam pesawat tempur yang mengadakan pengeboman secara membabi buta, sehingga banyak rakyat yang menjadi korban. Kota Solo sebelah barat, di daerah Sondakan menjadi sasaran lima pesawat Belanda. Dengan adanya peristiwa tersebut, lokasi bombardier yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap para pejuang Indonesia dibangun sebuah monumen untuk menandai dan mengenang peristiwa pertempuran itu di Sondakan.